“eh gue mau lancar Bahasa Inggris deh”
Celetuk teman saya di obrolan random selasa malam kemarin. Obrolan kami pun meluas dari celetukan teman saya itu, ada aja FYI baru yang saya dapat dari mereka. Teman saya yang lain bilang kalau mau lancar Bahasa Inggris, coba pergi ke Filipina selama seminggu. Lho? iya, setidaknya kalau disana kita bisa ngerasain vibe negara dengan bahasa sehari-harinya Bahasa Inggris, kurang lebih buat pede dulu. Dalam hati saya mengiyakan, teringat warga lokal yang diwawancarai salah satu media non-Filipina saat bencana typhoon beberapa tahun lalu, bisa saya bilang fasih menggunakan bahasa inggrisnya. Toh, negara yang menjajah mereka dulu Amerika Serikat.
Teman saya yang lain pun angkat bicara mengenai Filipina dan Bahasa Inggris. Dia pernah baca sesuatu yang menuliskan kalau penggunaan Bahasa Inggris di Filipina dengan tata bahasa lebih masif dibandingkan negara lain. Saya mau meng-cross check pernyataan itu tapi belum menemukan tulisan aslinya (peace). Tetapi statement itu masih bisa saya terima sih, masih masuk akal buat saya.
“During the naturalist approach heyday in the 80s and into 90s, when advocates of zero grammar held sway, grammar instruction largely dissapeared from school curricula for native speakers of English. But because of teacher support for grammer-based materials like mine, grammar teaching did not dissapeared from curricula for second language learner”. – Betty Azar
Kalimat di atas saya baca di kata pengantar buku grammar terkemuka karya mbak Azar. Saya coba menerka reasons dari kalimat beliau. Ah! wajar kalau second language learner bisa dibilang yang melestarikan (membuat grammar tetap ada). Toh zaman sekarang even anak Indonesia yang mau kerja (di negaranya sendiri), kerja di luar negeri, kuliah ke luar negeri mau ngapain aja pakai sertifikasi bahasa inggris yang notabane diperhatikan grammar skills-nya. Sedangkan, yang punya eng ga terlalu pake grammar. Itu sih kenapa saya setuju sama statement teman saya sebelumnya, hehe.
Sama halnya dengan banyak warga asing yang belajar bahasa Indonesia. Mau engga mau mereka belajar dengan bantuan tata bahasa, buat mempermudah proses belajarnya. Bahasa Indonesia dipelajari di berbagai belahan dunia, silakan googling buat cross-check. Sedangkan masyarakat Indonesia sendiri sangat jarang menggunakan tata bahasa, kecuali untuk beberapa hal seperti skripsi, undang-undang, karya ilmiah, ya pokoknya gitu. Pada akhirnya saya berpendapat, masyarakat dunia saling menjaga kekayaan bahasa milik satu sama lain (peace please come to this earth).